Kumulasi Argumen Presiden Tiga Periode

 

Kumulasi Argumen Presiden Tiga Periode

Sejak Undang-Undang Dasar 1945 sudah resmi menjadi konstitusi Indonesia, tepatnya pada 18 Agustus 1945, negara Indonesia sudah memiliki bermacam-macam regulasi, falsafah hidup, norma-norma, serta hukum dasar dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat. Permasalahan di Negara ini silih berganti seiring berjalannya waktu, baik itu tentang regulasi, falsafah hidup, norma-norma, hingga pada permasalahan yang saat ini sedang dipenuhi oleh polemik, yang tidak lain dan tidak bukan yakni tentang wacana ke-Presiden-an tiga periode. Wacana ini diangkat kembali oleh salah satu partai yang notabenenya merupakan salah satu partai yang cukup berpengaruh di Indonesia. Saat ini banyak berbagai kabar ataupun isu yang membahas polemik masa ke-presidan-an selama tiga periode. Ada yang menyatakan persetujuan terkait hal ini, tapi tidak sedikit pula yang berada di pihak oposisi. Wacana masa jabatan presiden selama tiga periode ini pun turut hadir di lembaga eksekutif. Juru bicara dari presiden pun angkat bicara dengan menyatakan bahwa Bapak Joko Widodo tidak pernah menyetujui perihal tiga periode masa kepresidenan ini.

Isu jabatan presiden tiga periode ini kembali bergulir bersamaan dengan pembahasan amendemen UUD 1945 di DPR. Beragam reaksi muncul atas wacana ini yang kebanyakan berkonotasi negatif. Hasil survei lembaga Fixpoll menemukan mayoritas masyarakat Indonesia menolak perpanjangan jabatan presiden dari segi jumlah masa jabatan atau durasi per sekali menjabat. Fixpoll mengadakan survei terkait rencana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Direktur Eksekutif Fixpoll Indonesia, Mohammad Anas RA, dalam paparan hasil survei pada Senin (23 Agustus) mengatakan bahwa  sekitar 57,5 % masyarakat tidak setuju jika masa jabatan presiden diubah menjadi lebih dari dua periode. Namun, 11,4 % menyatakan setuju. Sedangkan 12,6 menjawab tidak tahu.

Yusril mulanya berbicara soal amandemen pertama UUD 45 (1999) yang mengubah ketentuan Pasal 7 UUD 45 di mana presiden dan wakil presiden hanya menjabat maksimum dua kali per  iode jabatan, yakni selama 10 tahun. Amandemen itu, menurut Yusril, menutup peluang seorang presiden memegang jabatannya sampai tiga periode, kecuali lebih dahulu dilakukan amandemen lagi terhadap ketentuan Pasal 7 UUD 45 tersebut.

"Perubahan UUD memang bisa terjadi melalui 'konvensi ketatanegaraan'. Teks sebuah pasal tidak berubah, tetapi praktiknya berbeda dengan apa yang diatur di dalam teks. Contohnya adalah ketika sistem pemerintahan kita berubah dalam praktik dari sistem Presidensial ke sistem Parlementer pada bulan Oktober 1945. Perubahan itu dilakukan tanpa amandemen UUD, namun dalam praktiknya perubahan itu berjalan dan diterima oleh rakyat," ucap Yusril dalam keterangannya, Senin (15/3/2021).

Tudingan mengenai Presiden tiga Periode, Megawati Soekarnoputri angkat bicara, menurut beliau mengenai presiden dari dua peride menjadi tiga periode itu tidak benar. Megawati justru menuding orang yang yang menghembuskan isu mengubah masa jabatan dua periode menjadi tiga periode adalah pihak yang ingin berkuasa hingga tiga perode masa mendatang. Megawati menegaskan secara konstitusi bahwa sudah diatus masa jabatan presiden hanya dua periode.

Survei CISA mendapati bahwa rencana perpanjangan waktu kepemimpinan Presiden Jokowi hingga tahun 2027 ditolak oleh mayoritas responden. “Efektifitas dan efisiensi dalam konteks optimalisasi kinerja pemerintahan tak bisa menjadi dasar rencana tersebut”. Kata Henry.

Saat ini pemerintah lebih baik di fokuskan dengan ke stabilan negara dan bangsa ialah dengan memperkuat pondasi konstitusi dan demokrasi di Indonesia. Dirasa demokrasi di Indonesia saat ini mengalami kemunduran sehingga menjadi suatu pengingat bagi keadaan tanah air Indonesia. Kehati-hatian pemerintah dalam pengambilan kebijakan ialah sangat penting, jangan sampai karena kepentingan pihak tertentu, negara menjadi alat dan tentunya masyarakat akan merasakan dampak yang tidak baik. Pemerintah sekarang ini perlu melakukan reformulasi perencanaan pembangunan nasional. Reformulasi ini dilakukan dengan membuat haluan pembangunan nasional jangka panjang yang dibungkus dengan produk hukum kuat. Sehingga setiap pergantian presiden, maka presiden baru dalam menyusun program pembangunan tidak menyimpang dari haluan pembangunan nasional yang telah disepakati bersama oleh segenap komponen bangsa.

Menurut pendapat saya pribadi, jika dilihat dari segi garis rawan yang akan terjadi jika wacana presiden dua periode menjadi tiga periode terjadi maka adanya keuntungan yang diambil oleh para elite politik. Dalam pemerintahan, para pemangku jabatan memiliki kepentingan ingin main ‘aman’ dengan tidak adanya pergantian presiden di masa yang akan datang. Ketakutan apabila posisi yang dirasa strategis bagi dirinya akan digantikan, serta kepentingan politik beberapa pihak akan terhambat bilamana pergantian presiden terjadi. Apabila wacana presiden tiga periode ini benar terjadi, maka salah satu pihak yang juga diuntungkan ialah partai politik. Alasannya dikarenakan dijadikannya wacana tiga periode ini menjadi pijakan empuk sehingga partai politik akan semakin adikuasa di Indonesia, terlebih bagi partai politik yang dilabeli sebagai partai pemerintah. Kelanggengan suatu pemerintah tentunya tidak menjamin adanya suatu kesejahteraan yang terwujud. Berkaca pada era orde baru, ketika Presiden Soeharto sudah semakin lama menduduki jabatan tersebut, pemerintah semakin menunjukkan taring otoriternya. Paling nyata ialah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin semarak. Hal tersebut menjadi ketakutan rakyat bila kelanggengan pemerintah benar terjadi lagi. Masa jabatan yang lama berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan, tak dipungkiri nantinya presiden akan selalu berjalan dengan orang-orang di sekelilingnya baik sektor formal maupun nonformal. Secara tidak langsung, hal tersebut menimbulkan kekuasaan oligarki yang masif. Ketika suatu pemerintahan dijalankan oleh satu lingkaran saja, hal ini tidak jauh-jauh dari sebab timbulnya perilaku otoriter pemerintah.


Komentar